Sabtu, 13 Oktober 2012

GAGAL PENTAS


Cerpen : Gagal Pentas
{ Semoga kita menjadi orang yang bijak , demikian inti cerita dari sisi nyata kehidupanku dalam mengarungi dunia pendidikan }

Panggil saja dia Suhadi. Anak kampung seberang yang terlahir dari keluarga sederhana. Sahabatnya banyak sekali. Semua anak-anak di sekolah mengenalnya,karena keluguannya. Suatu saat aku masuk ke kelas 4 pada awal tugas mengajar di kelasnya. Seperti yang sudah -sudah pada awal tahun perkenalan kelas, mungkin hampir seluruhnya demikian. Kubawa secarik kertas bertuliskan puisi karya Chairil Anwar yang kutuliskan tadi pagi saat sampai di sekolah. Selanjutnya kubacakan puisi itu dalam kelas,dengan penyaksian 40 orang siswa selebihnya aku lupa. Kelas padat menggelegar terdengar suara bait-bait puisi berjudul " AKU".

Itulah awal di mana aku mengetahui siswaku, dengan berbagai ekspresi jiwanya. Ku suruh mereka membaca satu persatu. Belum tuntas semua , kini tiba absensi bernama SUHADI. Dengan rasa percaya diri , dia maju ke depan kelas dan diambilnya secarik puisi tersebut. 
" Harap baca dengan jelas dan semangat " kataku. Belum sempat aku kembali ke kursi. Suhadi membacanya." aa..uu.....aa...uu..."
Tak terbayangkan , semua siswa dalam kelas cekikikan mendengarkan puisi yang dibacakan oleh Suhadi tersebut. Namun dia hanya tersenyum-senyum saja. Percaya dirinya sungguh tinggi sekali. 
" Kenapa bacanya begitu, Di?
"kamu tidak bisa membacanya, ya?..
Dia manggut-manggut. Dalam pikiranku terus saja berjalan. Koq bisa anak kelas 4 tidak bisa membaca. Gumam ku dalam hati. Mau menyalahkan siapa ?...
Beberapa hari kemudian, aku memanggilnya. 
Di, tolong baca buku ini ya?,..kamu tahu huruf-hurufnya?.....
Ternyata dia tahu semua huruf, cuma belum bisa merangkaikan kata dan kalimat. Buku bahasa Indonesia berwarna hijau itu akhirnya kuperintahkan untuk dibawa pulang. Sambil aku titipkan pesan kepadanya. 

" Suhadi, besok kita latihan drama. Kamu siap tidak jadi peran utamanya?.Dia manggut-manggut lagi.
"Yaa..pak.Demikian katanya.
Ya, sekarang kamu boleh pulang, teman-teman kamu sudah kabur semua. Dengan mencium tangan Suhadi menujuu sepedanya. Dia pun pulang.

 Hari terus berjalan, sebagaimana biasa anak-anak giat latihan dalam mempersiapkan acara perpisahan dan kenaikan kelas. Aku membagi team anak-anak menjadi tiga team kerja. Team pertama dipimpin oleh Suhadi yang menangani lawak dan drama pendek. Team dua dipimpin Ica yang mempersiapkan tari dan dan propertinya, dan Nur mempersiapkan latihan untuk baca puisi. Demikian pembagian tugas itu tersusun, walau pun kepastian dari sekolah sendiri belum jelas.

Hari ini aku pertanyakan tentang acara tersebut kepada pihak sekolah dan membicarakan rincian pendanaan dengan perhitungan jumlah siswa sebanyak 400 orang dengan biaya sebesar lima ribu rupiah. Perkiraan dana akan terkumpul sebesar dua jutaan, dengan daya serap penggunaannya satu juta untuk panggung dan tenda serta sound system , untuk konsumsi dan undangan sebesar satu juta, itu semua baru perkiraan yang aku hitung. Siang itu aku ditugaskan untuk menanyakan biaya panggung dan tenda beserta perlengkapannya.

Siang itu baru saja aku selesai sholat zhuhur , ketika dua rakaat ke dua terdengar bunyi sepeda dan suara salam anak-anak team Suhadi dan teman-temannya.  Siang itu pula mereka memaksaku untuk ke sekolah kembali. Mereka terlihat antusias untuk latihan drama yang aku sendiri belum tahu judul drama apa yang akan aku tampilkan buat siswaku diacara perpisahan nanti.

Badanku masih saja penat, kini sudah kembali lagi ke sekolah mendampingi anak-anak ini untuk latihan. Sesampainya di sekolah aku perintahkan mereka untuk menyusun meja menjadi arena panggung dengan dasar sebagai latihan kepercayaan diri. Aku mencari buku di perpustakaan sekolah mencari bahan untuk drama anak-anak nanti. Kubaca judul buku perpustakaan itu sekilas aku tertarik dengan sebuah judul “ PAHLAWAN TOPENG BISU” demikian judul buku epos perjuangan isinya.

Tak mau kalah dengan antusiasnya anak-anak. Aku pun mencari properti yang dibutuhkan untuk acara tersebut. Bayangan tentang epos perjuangan rakyat kampung dukuh waktu itu. Gambaran tentang kekejaman tentara Belanda dan semangat para pemuda yang menentangnya. Semua sudah terangkum menjadi draf naskah dan garis besar pementasan. Tokoh-tokoh sudah dipilih. Senjata laras panjang yang terbuat dari potongan paralon dan bekas peti telur itu sudah dicat warna hitam. Dua buah golok dari triplek dan rajutan tali rapia telah menempel pada seragam bekas satpam yang masih kusimpan. Hari ini seragam itu telah berubah menjadi seragam tentara kompeni Belanda. Kaos oblong warna putih danpeci bekas yang sudah tak layak pakai pun menjadi bagian yang menarik. Semua telah rapih terbungkus untuk kubawa ke sekolah sebagai bagian perlengkapan pentas nanti.


Dua minggu sudah anak-anak selalu rajin latihan hampir tiap hari, terkadang sampai jam sembilan malam aku mengantarkan mereka untuk pulang ke rumahnya. Satu persatu, tak pernah bosan anak-anak itu. Penat pun tak terasa. Hari yang ditunggu semakin dekat.

Senin itu aku datang terlambat , sehingga tak mengikuti upacara pagi. Aku langsung duduk di samping kantor pada kursi panjang, ketika anak-anak menghampiri dengan wajah pucat pasi. Tak seperti biasanya wajah anak-anak itu demikian rupa. Hanya suara Nur yang kudengar .
“ Acaranya tidak jadi, Pak! Katanya demikian. Aku pun tertegun, bagaimana tidak. Baru saja aku membicarakan tentang panggung dan sound system dan memesannya, hanya tinggal menentukan tanggalnya saja.

Ku perintahkan mereka untuk masuk kelas. Tak terbayangkan oleh ku bagaimana dengan anak-anak itu. Bayanganku melayang kepada sosok Suhadi. Kini dia sudah bisa merangkai kata dari buku berwarna hijau muda milik P&K. Tak terbayangkan pula saat anak-anak tertawa terbahak-bahak , saat Suhadi memerankan “ DUKUN PALSU”. Sungguh terlalu.

Dengan langkah gontai aku memasuki ruang kelas setelah menanyakan kepastian acara yang gagal tersebut. Kupandangi wajah polos itu satu persatu dan entah apa yang harus aku katakan dihadapan mereka. Entah kenapa hari ini aku begitu bego dan bodohnya di mata mereka. Hari ini aku merasa menjadi orang yang paling tak berdaya. Dengan berat aku beranjak dari kursiku dan berdiri pada baris ke dua dari barisan meja itu. Masih kupandangi wajah anak-anak itu ketika suara purauku mengatakan sebuah kata “ Acaranya memang tak jadi, mungkin tahun depan barangkali’ demikian ucapku purau. Sontak kulihat anak-anak di kelas semua menangis. Kepalaku melayang-layang. Hatiku bagaikan diiris-iris. Mata terasa gelap dengan seribu bayangan kekesalan dan umpatan kekecewaan. Maafkan aku, anak-anakku sayang. Hari ini aku tak bisa membelamu. Hari ini bapak tak kuasa,maafkan ,Ple yaa?.....

Aku pun tertunduk ketika suara tangisan semakin menjadi. Tak kuteruskan kata-kataku. Aku tak kuasa sama seperti tak berdayanya anak-anak itu melawan arogansi dan otoritas kepemimpinan. / 2004.




INILAH SOSOK TOPENG BISU , YANG TAK DIKENALI AYAH & IBUNYA. Dia berjuang melawan keserakahan penjajah dan juga Ayahnya sendiri. Dia tak pernah berkata apapun saat tampil dalam perjuangan

1 komentar:

  1. Sudah berusaha semaksimal mungkin, walau apa pun yang terjadi.itulah sebuah resiko

    BalasHapus