Wajahnya tertunduk pucat, menahan perih dan sesak dalam dada,
Ribuan kecewa menghias kepala, dan menumpuk sekujur tubuh lemas,
Jalan tak lagi terasa, bumi yang ditapakinya rasa hampa,
Dia pulang membawa bilur luka yang tak pernah sembuh.
Mata -mata nanar yang memandanginya, bak senjata menghunus dekat kepala,
Jari yang menuding, seakan menghujam sampai ulu hati,
Langkahnya tertatih , menyusuri jalan pulang,
Dalam keraguan menanti , siap dicampakan ,
Di negeri yang mentertawakan saat dia kembali pulang.
Medan perang telah dia tinggalkan, jauh sebelum perang usai,
Kata pahlawan, bukan lagi jadi kehormatan,
Nada sinis berdesing, bagai peluru mencari mangsa,
Tubuhnya seakan mati lemas tak berdarah,
Dia kalah perang.
Jiwa raganya bak telanjang, dipermalukan,
Semua terlucuti, tanpa sehelai kehormatan,
Lalu dia berkata kembali dalam hati,
" Aku akan datang, ke medan pertempuran, sampai titik darah penghabisan"
" Lebih baik mati di sana, dari pada pulang dan dipermalukan!'
Jika jiwa mesti melayang, dan gugur dengan satu alasan,
Itu sebuah kehormatan tiada banding,
Mereka boleh jadi pecundang, dikala negeri kehilangan jati diri,
Mereka boleh khianati negeri, disaat negeri sekarat dan mati,
Darah kita meraah , kawan,.....
Tulang kita putiih, temaaan,.....
Adakah belas dan kasih mu menyerta air mata negeri ini,
Menyeka tangis bunda pertiwi, dari tangis kepanjangan,
Apakah kita telah kehilangan, darah dan tulang yang pahlawan korbankan,
Ataukah kita menjadi orang yang kalah perang,
Hingga dipermalukan ketika pulang?
Kemana rasa dan nurani mu sebagai bangsa ?
Kita bukan orang yang kalah perang!
Ribuan kecewa menghias kepala, dan menumpuk sekujur tubuh lemas,
Jalan tak lagi terasa, bumi yang ditapakinya rasa hampa,
Dia pulang membawa bilur luka yang tak pernah sembuh.
Mata -mata nanar yang memandanginya, bak senjata menghunus dekat kepala,
Jari yang menuding, seakan menghujam sampai ulu hati,
Langkahnya tertatih , menyusuri jalan pulang,
Dalam keraguan menanti , siap dicampakan ,
Di negeri yang mentertawakan saat dia kembali pulang.
Medan perang telah dia tinggalkan, jauh sebelum perang usai,
Kata pahlawan, bukan lagi jadi kehormatan,
Nada sinis berdesing, bagai peluru mencari mangsa,
Tubuhnya seakan mati lemas tak berdarah,
Dia kalah perang.
Jiwa raganya bak telanjang, dipermalukan,
Semua terlucuti, tanpa sehelai kehormatan,
Lalu dia berkata kembali dalam hati,
" Aku akan datang, ke medan pertempuran, sampai titik darah penghabisan"
" Lebih baik mati di sana, dari pada pulang dan dipermalukan!'
Jika jiwa mesti melayang, dan gugur dengan satu alasan,
Itu sebuah kehormatan tiada banding,
Mereka boleh jadi pecundang, dikala negeri kehilangan jati diri,
Mereka boleh khianati negeri, disaat negeri sekarat dan mati,
Darah kita meraah , kawan,.....
Tulang kita putiih, temaaan,.....
Adakah belas dan kasih mu menyerta air mata negeri ini,
Menyeka tangis bunda pertiwi, dari tangis kepanjangan,
Apakah kita telah kehilangan, darah dan tulang yang pahlawan korbankan,
Ataukah kita menjadi orang yang kalah perang,
Hingga dipermalukan ketika pulang?
Kemana rasa dan nurani mu sebagai bangsa ?
Kita bukan orang yang kalah perang!
Maju teruuuusssss.....
BalasHapusmakasih mas @mardi
BalasHapusmasyaALLAH mantap idolaku
BalasHapus