SENYUM YANG TERAKHIR
Pohon jagung itu nampak indah dengan barisannya, yang segar dan berbuah. Aku ajak dia ke sana untuk memanennya, sebagai bekal pulang ke kotanya sebagai oleh-oleh untuk kepergiannya yang terakhir. Karung kecil itu telah penuh terisi jagung segar, kulihat pula senyumnya sebagai tanda terima kasihnya, ternyata itu adalah senyum terakhirnya pula. Banyak cerita yang diungkapkannya, tentang dirinya dan keluarganya, juga sahabat-sahabat terbaiknya. Sangat panjang ceritanya, aku pun setia mendengar keluh kesahnya, sambil kurapihkan jagung-jagung yang masih berserakan.
Matahari senja mengiringi kepulangan kami berdua,denagn jagung yang kubawa. Tangan lembutnya masih memegangi kaus lusuh yang kukenakan, ada rasa sungkan dan malu-malu bercampur jadi satu. Jalan pulang begitu cepat terasa sampainya, padahal aku ingin berlama-lama, seakan memutar balik arah. Hujan. Tak pelak terhindarkan, namun langkah kami pun terus saja menyusuri jalan setapak untuk pulang. Tebing terjal sebentar lagi terlewati, nampak licin dan membuat ngeri kulewati. Pegangan tangan lembutnya semakin kuat kurasakan, hanya senyumnya kulihat, walau dia kemudian menunduk malu kulihat.
Buuk!, Karung jagung itu telah tergelinciir bersama tubuh yang kemudian terguling. Tak lama, tubuh mungil gadis kota itu pun menimpa menyusul di sampingku, dia pun ikut terjatuh pula. Ada perasaan bersalah kepadanya. Tak banyak kata yang terucapkan, aku hanya mengusap wajahnya yang nampak merah dengan hiasan ltanah liat . Dia pun mendekat dengan jemarinya yang mengibaskan tanah yang melekat di hidung, namun tiba-tiba dia memelukku. Ada getaran aneh yang menjalar dalam tubuhku,dengan pakaian yang basah oleh hujan dan penuh dengan tanah liat.
Semenjak kejadian itu, ada hal aneh yang menghiasi pertemuanku dengannya. Malu. Dia malu menemuiku, atau dia tahu bahwa aku hanya anak desa dengan sejuta kemiskinan, atau entah apa.?.Aku tak boleh lagi menemuinya, bahkan bertegur sapa pun dia tak mau lagi. Aku tak tahu. Rahasia apa yang disimpannya. Itulah senyum terakhir yang kulihat dari wajahnya.======by: Soleman 1985
KISAH MOTOR BUTUT
Motor butut berwarna merah itu jadi saksi bisu, saat pelukkan tanganmu semakin erat terasa di pinggangku. Jalan itu panjang itu mengapa begitu cepat sampai ya?. Aku tak kuasa menolak kata-kata indah yang diucapkannya yang tertiup diterpa angin. Cantiknya wajahmu masih saja ku ingat ,walau sebatas ku ingat. Kaka kelasku yang cantik. Begitu banyak alasanmu untuk menemuiku, namun saat kau marah padaku, kenapa kartoon dan spidol bisu yang tak mengerti apa2 yang kau taruh di hadapanku. Dia tak bisa mengerti aku. dia membisu. Kau siksa aku dengan tugas menggambar yang begitu banyak, sehingga aku tak kuasa untuk menolak, dan akhirnya aku MABOK BAU SPIDOL.
Kakak kelas ku yang cantik, bukan aku menolak kata-kata dan ungkapan perasaanmu padaku. Aku bukan menolak cintamu, bukan pula karena perbedaan kelas dan sebagainya.Aku hanya tak kuasa melihat keadaanku. Maafkan aku. =================by: Soleman 1985
TAK JADI RAHASIA
Telah kupanjatkan ribuan kali doa dan pengharapan. Telah kuusahakan menjadi penjaga amanat Bundaku dalam pesan terakhirnya, dan itu selalu ku ingat walau kadang aku sering alfa melaksanakannya. Hingga sampai kini aku masih terngiang-ngiang akan semua itu, ketika jalanku ditunjukkan ke dunia pilihannya, antara bisa dan tidak. Antara ragu dan tak yakin akan akhirnya. Sampai pada akhirnya Beliau tak pernah melihat bukti dari pesannya. Semoga Allah menyampaikannya.
Dua puluh tahun bukan waktu yang singkat, sehingga menjepit harapan sang Bunda yang hampir pupus. Terasa begitu sangat lama dan panjang , hingga jalan terjal dan apa pun aku lakukan. Hati dan perasaan menjadi satu dalam cita dan doa sang Bunda, ketika 2004 terpanggil dalam pengabdian untuk putera/i bangsa ini. Kini mungkin sudah waktunya kujelaskan agar tak lagi menjadi rahasia dalam kehidupanku, agar ada pelajaran yang dapat dipetik buat anak-anakku, bahwa hidup ini adalah perjuangan, dan perjuangan butuh waktu dan pengorbanan.
Mungkin bagi sebagian orang ini terasa janggal dan aneh, dan mungkin saja bohong belaka jika makam dan kuburan telah menjadi persinggahan dalam mengejar selembar SK Bupati, yang akhirnya sampai kemana setumpuk kertas penuh tanda tangan pejabat mulai dari RT, Lurah , Camat , bahkan Kapolsek dengan ketebalan setinggi koper pramugara aku bawa itu menuju Bandung yang sampai perpisahan tak pernah ada kabar beritanya.
Tiga tempat penanda surat itu bagi sebagian orang mungkin mudah saja diperoleh dengan secarik amplop berisikan uang bergambar Pak Harto zaman itu, tp bagi keluargaku uang sedemikian sangatlah berharga, dan itu pula yang membuat seorang penjaga POLSEK marah-marah karena keterlambatan kedatanganku, karena tertahan di KORAMIL. Dengan lantangnya dia berkata " Apakah Polsek ini punya Anda, Kamu tahu Kapolsek sudah pulaang!!' Padahal surat2 itu harus selesai hari itu juga. Walau penuh air mata yang membatu akhirnya aku tetap berdiri dan tanpa sadar seorang gadis mengahmpiiri dan menanyakan keperluanku.
Sungguh masih terlalu banyak untuk kuuraikan. Semua hanya berupa kesedihan kepanjangan yang penuh dengan pelajaran, bahwa di negeri ini begitu polemiknya persaingan dengan label uang, mungkin hingga sekarang masih terjadi.
========================1987=====================================
Pohon jagung itu nampak indah dengan barisannya, yang segar dan berbuah. Aku ajak dia ke sana untuk memanennya, sebagai bekal pulang ke kotanya sebagai oleh-oleh untuk kepergiannya yang terakhir. Karung kecil itu telah penuh terisi jagung segar, kulihat pula senyumnya sebagai tanda terima kasihnya, ternyata itu adalah senyum terakhirnya pula. Banyak cerita yang diungkapkannya, tentang dirinya dan keluarganya, juga sahabat-sahabat terbaiknya. Sangat panjang ceritanya, aku pun setia mendengar keluh kesahnya, sambil kurapihkan jagung-jagung yang masih berserakan.
Matahari senja mengiringi kepulangan kami berdua,denagn jagung yang kubawa. Tangan lembutnya masih memegangi kaus lusuh yang kukenakan, ada rasa sungkan dan malu-malu bercampur jadi satu. Jalan pulang begitu cepat terasa sampainya, padahal aku ingin berlama-lama, seakan memutar balik arah. Hujan. Tak pelak terhindarkan, namun langkah kami pun terus saja menyusuri jalan setapak untuk pulang. Tebing terjal sebentar lagi terlewati, nampak licin dan membuat ngeri kulewati. Pegangan tangan lembutnya semakin kuat kurasakan, hanya senyumnya kulihat, walau dia kemudian menunduk malu kulihat.
Buuk!, Karung jagung itu telah tergelinciir bersama tubuh yang kemudian terguling. Tak lama, tubuh mungil gadis kota itu pun menimpa menyusul di sampingku, dia pun ikut terjatuh pula. Ada perasaan bersalah kepadanya. Tak banyak kata yang terucapkan, aku hanya mengusap wajahnya yang nampak merah dengan hiasan ltanah liat . Dia pun mendekat dengan jemarinya yang mengibaskan tanah yang melekat di hidung, namun tiba-tiba dia memelukku. Ada getaran aneh yang menjalar dalam tubuhku,dengan pakaian yang basah oleh hujan dan penuh dengan tanah liat.
Semenjak kejadian itu, ada hal aneh yang menghiasi pertemuanku dengannya. Malu. Dia malu menemuiku, atau dia tahu bahwa aku hanya anak desa dengan sejuta kemiskinan, atau entah apa.?.Aku tak boleh lagi menemuinya, bahkan bertegur sapa pun dia tak mau lagi. Aku tak tahu. Rahasia apa yang disimpannya. Itulah senyum terakhir yang kulihat dari wajahnya.======by: Soleman 1985
KISAH MOTOR BUTUT
Motor butut berwarna merah itu jadi saksi bisu, saat pelukkan tanganmu semakin erat terasa di pinggangku. Jalan itu panjang itu mengapa begitu cepat sampai ya?. Aku tak kuasa menolak kata-kata indah yang diucapkannya yang tertiup diterpa angin. Cantiknya wajahmu masih saja ku ingat ,walau sebatas ku ingat. Kaka kelasku yang cantik. Begitu banyak alasanmu untuk menemuiku, namun saat kau marah padaku, kenapa kartoon dan spidol bisu yang tak mengerti apa2 yang kau taruh di hadapanku. Dia tak bisa mengerti aku. dia membisu. Kau siksa aku dengan tugas menggambar yang begitu banyak, sehingga aku tak kuasa untuk menolak, dan akhirnya aku MABOK BAU SPIDOL.
Kakak kelas ku yang cantik, bukan aku menolak kata-kata dan ungkapan perasaanmu padaku. Aku bukan menolak cintamu, bukan pula karena perbedaan kelas dan sebagainya.Aku hanya tak kuasa melihat keadaanku. Maafkan aku. =================by: Soleman 1985
TAK JADI RAHASIA
Telah kupanjatkan ribuan kali doa dan pengharapan. Telah kuusahakan menjadi penjaga amanat Bundaku dalam pesan terakhirnya, dan itu selalu ku ingat walau kadang aku sering alfa melaksanakannya. Hingga sampai kini aku masih terngiang-ngiang akan semua itu, ketika jalanku ditunjukkan ke dunia pilihannya, antara bisa dan tidak. Antara ragu dan tak yakin akan akhirnya. Sampai pada akhirnya Beliau tak pernah melihat bukti dari pesannya. Semoga Allah menyampaikannya.
Dua puluh tahun bukan waktu yang singkat, sehingga menjepit harapan sang Bunda yang hampir pupus. Terasa begitu sangat lama dan panjang , hingga jalan terjal dan apa pun aku lakukan. Hati dan perasaan menjadi satu dalam cita dan doa sang Bunda, ketika 2004 terpanggil dalam pengabdian untuk putera/i bangsa ini. Kini mungkin sudah waktunya kujelaskan agar tak lagi menjadi rahasia dalam kehidupanku, agar ada pelajaran yang dapat dipetik buat anak-anakku, bahwa hidup ini adalah perjuangan, dan perjuangan butuh waktu dan pengorbanan.
Mungkin bagi sebagian orang ini terasa janggal dan aneh, dan mungkin saja bohong belaka jika makam dan kuburan telah menjadi persinggahan dalam mengejar selembar SK Bupati, yang akhirnya sampai kemana setumpuk kertas penuh tanda tangan pejabat mulai dari RT, Lurah , Camat , bahkan Kapolsek dengan ketebalan setinggi koper pramugara aku bawa itu menuju Bandung yang sampai perpisahan tak pernah ada kabar beritanya.
Tiga tempat penanda surat itu bagi sebagian orang mungkin mudah saja diperoleh dengan secarik amplop berisikan uang bergambar Pak Harto zaman itu, tp bagi keluargaku uang sedemikian sangatlah berharga, dan itu pula yang membuat seorang penjaga POLSEK marah-marah karena keterlambatan kedatanganku, karena tertahan di KORAMIL. Dengan lantangnya dia berkata " Apakah Polsek ini punya Anda, Kamu tahu Kapolsek sudah pulaang!!' Padahal surat2 itu harus selesai hari itu juga. Walau penuh air mata yang membatu akhirnya aku tetap berdiri dan tanpa sadar seorang gadis mengahmpiiri dan menanyakan keperluanku.
Sungguh masih terlalu banyak untuk kuuraikan. Semua hanya berupa kesedihan kepanjangan yang penuh dengan pelajaran, bahwa di negeri ini begitu polemiknya persaingan dengan label uang, mungkin hingga sekarang masih terjadi.
========================1987=====================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar